Sebuah kotak kecil berbentuk segi empat. Di dalamnya terdapat sebuah coretan hitam tanpa makna, tanpa arti dan beku. Aku ingin menyelesaikan coretan itu dengan menambahkan bebrapa garis dan titik agar lebih bermakna dan mampu menyampaikan pesan bagi siapa saja yang melihatnya. Kadang pula aku ingin menghiasnya dengan tetesan-tetesan tinta berwarna-warni agar terkesan lebih hidup. Tapi, hingga aku kehabisan ide dan akihirnya memutuskan untuk mengakhirinya, kotak kecil itu tetap terisi dengan coretan semula yang tanpa arti. Tanpa sadar, aku telah mewakilkan gambaran pikiranku pada coretan-coretan itu. Carut-marut, tidak jelas, dan gelap. Serupa malam yang kini tengah memenjara dan menenggelamkanku pada renungan yang tak berkesudah.
Esoknya, pagi-pagi buta aku terjaga dari tidurku. Setelah menuci muka, aku beranjak meninggalkan rumah saat dunia belum sepenuhnya terbangun. Ditemani sepeda butut peninggalan ayahku, aku membelah jalan desa yang selama ini kutinggali. Sejak dulu aku terbiasa sendiri karena memang aku lebih suka sendiri. Menurutku sendiri adalah bebas. Kita bebas melakukan apa saja saat sendiri. Tak ada yang berkata suka atau tidak saat kita melakukan hal aneh. Tak ada yang berkata boleh atau tidak saat kita melakukannya. Tak ada protes. Semuanya berjalan sepenuhnya dengan kendali kita. Pokoknya sendiri adalah bebas. Pernah sekali, aku harus rela dikatai h*mo oleh teman-teman sekolahku saat masih SMA dulu hanya karena aku tak pernah tertarik berpacaran. Maka pagi ini, aku pun sendiri menembus dinginnya pagi.
Aku masih mengayuh sepeda ketika matahari perlahan muncul dan merongrong dunia dari lelap. Di balik pantulan sinar matahari yang membentuk siluet, aku melihat bayangan tubuhku dengan gambaran lain dan asing. Bayangan itu seolah-olah membawaku ke dunia lain. Aku mendapati diriku tidak seperti adanya. Semuanya jelas terlihat berbeda hingga aku menyadari bahwa selama ini aku hidup bukan dengan diriku. Ada jiwa lain yang kini sedang bermain-main denganku. Tampaknya aku masih belum lepas dari renungan semalam. Pikiranku masih kacau.
“Oeeee…” Teriakku ketika sampai pada sebuah lembah dan matahari tampak jelas di seberangnya. Tak ada respon. Bahkan nyanyian angin dan alam pun tak terdengar. Aku tersenyum lebar karena semakin meyakini diriku lebih merasa nyaman saat sendiri, bahkan tanpa alam sekalipun seperti sekarang. Aku teringat, sekitar lima tahun yang lalu aku pernah ke tempat ini dan saat itu aku tidak sendiri. Seperti sekarang, hari itu pagi masih enggan beranjak berganti siang. Aku yang datang saat itu melihat seorang perempuan muda duduk sendiri sambil bersandar pada sebatang pohon. Selembar kertas dan sebuah pulpen terselip di antara jari-jarinya. Sesekali mukanya ditekuk dengan mata menatap tajam entah pada apa. Aku memperhatikannya dari jauh dan sangat menikmati setiap gerakannya, terlebih lagi wajahnya yang manis yang uhm, sangat menarik perhatianku, tapi tampaknya ia sama sekali tak menyadari keberadaanku. Agak lama aku memperhatikannya.
“Nulis apa sih?” Tanyaku saat tiba-tiba muncul di dekatnya.
“Lagi nulis puisi.”
“Kamu sering ke tempat ini?”
“Iya, kalau lagi pengen nulis puisi.”
“Jadi kamu kesini cuma buat nulis puisi?”
“Iya.”
“Apa istimewanya tempat ini?”
“Nggak ada. Cuma nyaman aja nulis di sini.” Senyumnya tertarik. Manis sekali.
“Saya Andi. Kamu?”
“Wira.” Jawabnya singkat dan senyum itu lagi.
“Lagi nulis puisi.”
“Kamu sering ke tempat ini?”
“Iya, kalau lagi pengen nulis puisi.”
“Jadi kamu kesini cuma buat nulis puisi?”
“Iya.”
“Apa istimewanya tempat ini?”
“Nggak ada. Cuma nyaman aja nulis di sini.” Senyumnya tertarik. Manis sekali.
“Saya Andi. Kamu?”
“Wira.” Jawabnya singkat dan senyum itu lagi.
Setelah kami ngobrol sebentar, ia lalu pergi. Berjalan santai sambil menenteng kertas dan pulpen. Esoknya, aku kembali lagi ke tempat itu. Aku yakin ia pasti akan ke tempat itu lagi karena puisinya belum selesai. Benar saja, ketika aku tiba, ia sudah ada di tempat itu lengkap dengan kertas dan pulpennya, dan bersandar pada sebatang pohon yang sama.
“Kamu datang lagi?” Katanya yang seperti telah menduga kedatanganku.
“Iya. Gimana puisi kamu? Udah selesai?”
“Iya. Kamu mau baca?”
“Boleh.”
Ia menyodorkan puisinya ke arahku diikuti senyum itu lagi. Sangat manis. Tapi belum sempat membacanya aku sudah heran.
“Ini apa judulnya?”
“Nggak ada.”
“Kok gitu?”
“Aku memang sengaja menyelesaikannya tanpa judul.”
“Udah? Sampai di sini aja?”
“Iya.”
“Iya. Gimana puisi kamu? Udah selesai?”
“Iya. Kamu mau baca?”
“Boleh.”
Ia menyodorkan puisinya ke arahku diikuti senyum itu lagi. Sangat manis. Tapi belum sempat membacanya aku sudah heran.
“Ini apa judulnya?”
“Nggak ada.”
“Kok gitu?”
“Aku memang sengaja menyelesaikannya tanpa judul.”
“Udah? Sampai di sini aja?”
“Iya.”
Aku berdebat dengan pikiranku. Kenapa puisi ini tak berjudul? Gumamku dalam hati.
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari diam ini
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari diam ini
Hari ini kami janjian ketemu di lembah itu. Katanya ia ingin memberikan sebuah puisi untukku. Tak seperti biasanya, ia belum ada di tempat itu saat aku tiba. Setelah agak lama menunggu, ia akhirnya datang. Kali ini dengan setelan lebih rapi dan anggun dari biasanya. Matanya berbinar cerah dan senyumnya lebih manis dari biasanya. Sangat indah.
“Ini puisinya.”
“Masih puisi yang kemarin?”
“Iya. Ada tulisan di belakang puisi itu, tapi jangan dibaca dulu.” Katanya lalu berlari meninggalkanku. Aku tak bisa mencegahnya pergi. Setelah ia menghilang dari pandanganku, aku membalik kertas itu.
“Aku menunggu seseorang untuk memberinya judul dan setelah melihatmu, aku yakin kaulah orangnya.”
“Masih puisi yang kemarin?”
“Iya. Ada tulisan di belakang puisi itu, tapi jangan dibaca dulu.” Katanya lalu berlari meninggalkanku. Aku tak bisa mencegahnya pergi. Setelah ia menghilang dari pandanganku, aku membalik kertas itu.
“Aku menunggu seseorang untuk memberinya judul dan setelah melihatmu, aku yakin kaulah orangnya.”
Esoknya aku kembali lagi ke tempat itu untuk bertemu dengannya tapi ia tak pernah ada. Esoknya, esoknya, dan esoknya selalu sama, ia tak pernah datang.
Kini, setelah lima tahun berlalu aku masih menyimpan puisi itu. Aku pun telah melengkapi dengan sebuah judul seperti yang kau minta. Kapan kau kembali untuk melengkapi titik-titik yang sengaja kau sediakan itu dan menyelesaikannya dengan indah.
Sendiri
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari diam ini
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari diam ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar