Senin, 28 April 2014

Cinta Dan Akustik

Di Vanya’s Cafe
“jreeeng”. Dawai sang akustik mendengung merdu.
Itu adalah petikan terakhir dari gitar akustik yang kumainkan pada parade musik solo malam di Vanya’s Cafe. Akhir dari lagu sendu yang seolah mewakili suasana hatiku pada beberapa minggu ini.
Desiran ombak hati yang beraroma usang kini menjadi selimut tetap dalam putaran waktu yang menyelingi irama nadi. Cinta tak lagi berpihak dan akustik adalah sebuah pelipur yang terpilih guna menyembunyikan luka yang menggandengku erat. Terhitung satu bulan lagi. Satu bulan lagi akan menjadi hari tergelap dalam hidupku yang teramat kucintai ini.
Wanita yang begitu dekat dan melekat di hati akan terpinang dan segera membangun indahnya canda tawa sebuah keluarga dengan seseorang di luar sana. Bukan denganku dan pasti tanpaku.
Cinta tak pernah mengerti bagaimana rasa akan tumbuh dan dengan cara apa ia bisa menjelma menjadi suatu kata yang begitu berharga dalam lentera teduh yang di sebut ‘sayang’. Ya, cinta juga tak pernah mengerti kepada siapa ia akan menjatuhkan hati tentang rintihan lembut yang memanggil atas dasar ketulusan untuk memiliki. Cinta dalam hati adalah satu dari sejuta kemungkinan yang bermakna nyata.
*Hening dalam sekian detik
Semula seusainya tampil di kafe ini, hanya ku pejamkan mata sejenak. Lalu ku coba memimpikannya dalam gelap, memikirkannya dalam rindu, dan menariknya agar tak menjauh. Ku bayangkan indah matanya, lembut katanya dan aromanya yang khas. Itu adalah kenikmatan yang hanya bisa kudapati pada dirinya, wanita penghuni relung kosong ini, dia sahabatku.
Masih ku memimpikannya dalam pejaman mata yang dangkal, sebelum akhirnya para pengunjung kafe ini membangunkanku dengan tepuk tangannya yang riuh membanjiri gendang telingaku. Maka ku terbangun.
“Galih!”. Teriakan suara wanita memanggil namaku. Itu bukan suara asing, aku mengenalnya.
Dengan cepat aku menoleh antusias pada seluruh pengunjung kafe. Masih kucari dari mana panggilan itu berasal sebelum akhirnya muncul dengan anggunnya seorang wanita yang aku maksud. Itu adalah dia, dia yang aku filosofikan sebagai kata yang kurajut menjadi puisi. Puisi yang mengalbum dalam bingkai terbaik di sudut terindah taman cintaku. Dia yang tinggal di jagad hatiku dengan sejuta keindahannya yang membuatku senantiasa bersyukur atas nama cinta. Nadina Andira Wisanto namanya, atau ku sebut dia Nadin.
Nadin adalah wanita dengan senyum renyah dan selalu membawa gitar akustik kesayangannya, sama sepertiku. Nadin dan aku adalah sesama pemain akustik. Lima tahun sudah persahabatan ini terbangun atas nama rasa. Maka lima tahun pula aku hanya bisa bernyanyi lewat akustik dan berpuisi tentangnya tanpa berani mengungkap isi hatiku yang sebenarnya. Betapa pengecutnya aku sehingga hati ini kupaksakan menunggu. Selama itu hati menahan dan lambat laun semakin sesak lalu merintih. Apalagi ketika tempo hari ku dapati sebuah cincin indah melingkar di jari manisnya tanda terjadinya sebuah ikatan. Sekali lagi bukan denganku.
“Nadin?”. Heranku padanya seraya berjalan turun dari panggung dengan masih diiringi riuhnya tepuk tangan.
“bisa kita jalan?”. Pinta Nadin lembut padaku.
“kemana? tapi kan…”.
“kita berangkat sekarang”. Sahut Nadin memotong ucapanku.
Aku hanya bisa beranjak dan segera menuruti pintanya. Seperti ada sesuatu yang aneh ketika kuperhatikan mimik wajah dan caranya berbicara. Nadin yang biasanya berhiaskan senyum renyah tak ku dapati malam ini. Kilau rambutnya juga tak seperti yang biasa aku nikmati. Ada apa dengan Nadin? Hatiku bertanya.
Di Kedai Kopi Klasik
Sudah 30 menit lamanya aku dan dirinya tiba di kedai kopi langganan kami, tapi ia tak kunjung mengeluarkan sepatah kata pun dari mulut manisnya. Justru air matanya lah yang gemulai menyapaku menemani tubuh yang perlahan mulai menggigil.
“kamu kenapa, Nad?”. Tanyaku khawatir padanya.
Aku mulai terkejut ketika dengan sekejap Nadin mendekap lenganku penuh arti. Ini bukan sembarang dekapan. Aku merasa luluh. Pada satu definisi aku menerimanya sebagai dekapan yang membawaku pada gelora cinta yang membuatku bersyukur atas nama waktu. Waktu telah memberiku jeda riang dengan dekapan yang hadir dari sang hawa bernama Nadin. Terima kasih cinta.
Tak lama, lantas ia membaringkan kepalanya pada bahu yang selalu siap menerimanya ini. Kemudian mulai ia mengungkap sesuatu dengan diiringi angin lembut yang memberikan sebuah tema haru seraya menyongsong penjelasannya padaku.
“coba lihat ini”. Ujarnya sembari memberiku secarik kertas undangan pernikahan.
“undangan? kamu kan udah pernah ngasih ke aku, kenapa masih ngasih lagi?”. Aku bertanya padanya dengan masih dinaungi ketidak percayaan bahwa ia benar-benar akan menikah.
“iya memang, tapi aku hanya ingin kamu tau kalau sahabatmu ini benar-benar akan menikah”. Jawab Nadin penuh perasaan.
“hmm, iya aku tau, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu”. Ujarku berusaha tegar di hadapannya.
“tapi persahabatan kita? gitar akustik? kafe itu?”.
“tentu kita tetap bersahabat, kita juga masih bisa berakustik di kafe biasa kita kumpul, memang kenapa?”.
Sejenak aku dan dia bisu dalam hening. Air mata Nadin terus berbicara lirih mengalir menghiasi pipinya. Suasana semakin sendu ketika kuperhatikan kedai kopi ini ternyata perlahan mulai sepi.
“Nadin?”. Tanyaku semakin heran padanya.
“terima kasih untuk 5 tahun ini, aku beruntung bertemu seorang pemain akustik sepertimu Gal. Aku bisa nikmati bagaimana kebersamaan kita selama 5 tahun ini. Bulan depan aku bakal terpinang dan segera beranjak dari kota ini”. Tandas Nadin dengan derai air matanya yang semakin menjadi.
“maksud kamu? kamu pergi? kenapa Nadin?”.
“iya, aku pergi setelah pernikahanku nanti”.
“tapi, Nad…”.
“malam ini aku cuman mau balikin buku ini”. Tiba-tiba Nadin memotong ucapanku dan memberiku sebuah buku yang sepertinya aku kenali.
Benar. Buku itu adalah tempatku menuang kata menjadi puisi tentangnya, tentang Nadin. Buku itu adalah pelarian dari suasana hati dan sejuta kekagumanku padanya. Aku menyebutnya lembaran hati, bukan buku diary. Lantas bagaimana buku itu bisa berada di tangan sang cinta?.
“buku itu? kenapa bisa ada di kamu, Nad?”. Aku panik dan berusaha menyembunyikan rasa yang tiba-tiba menjadi tak karuan. Timbul rasa khawatir pada benakku, khawatir akan mengacaukan persiapannya untuk menikah.
“aku temuin buku itu di kafe tempat kita biasa manggung Gal. Aku udah tau semua isi buku itu”. Ucap Nadin sesenggukan.
“jadi? kamu?…”.
“iya Gal, aku udah tau tentang perasaan kamu ke aku selama ini”.
“maafin aku Nad. Aku nggak bermaksud menodai persahabatan kita. Rasa ini mengalir begitu saja dan aku nggak pernah bisa nolak anugrah cinta yang Tuhan berikan. 5 tahun aku nyimpen ini semua karena emang aku nggak ada keberanian buat bilang ke kamu tentang perasaan aku. Aku khawatir persahabatan kita hancur dan kamu ngehindar kalau seandainya kamu nggak bisa nerima aku. Aku terpaksa diam, sekali lagi maafin aku Nad”.
“bodoh!”. Kilah Nadin padaku.
“maafin aku, Nad”.
“kenapa kamu nggak pernah coba, Gal? kenapa kamu nggak perjuangkan apa yang seharusnya kamu dapetin?”.
“aku khawatir, Nad!”. Seruku padanya.
“khawatir apa?”. Nadin membalasku.
Sejenak terjadilah perang argumen antara aku dengannya. Perlahan nadiku melemah menyaksikan isak tangis Nadin yang tak kunjung mereda. Sampai akhirnya aku tega melanjutkannya.
“aku khawatir kamu nggak bisa nerima aku dengan segala kekurangan aku. Pikirku kamu nggak bisa nerima cinta dari seorang pemain akustik seperti aku. Tapi cuman satu yang jelas, atas nama cinta, aku sayang kamu, Nad”.
“sebenarnya ada satu hal yang perlu kamu tau, Gal”.
“apa?”.
“tentang kita, cinta yang ternyata bersembunyi di balik keraguan kita. Tentang rasa yang selama ini ternyata sama. Sebenarnya selama ini aku juga punya perasaan yang sama sepertimu. Tanpa kamu sadari aku selalu memberimu ruang untuk masuk dan mencoba mengatakan semuanya. Aku selalu menunggumu untuk satu hal itu, tapi kamu terlalu lama dan ragu Gal”.
“Nadin?”.
“aku wanita, nggak mungkin aku memulai. Kalau saja seandainya kamu lebih cepat dan tak pengecut, mungkin cincin orang lain ini nggak akan terpasang di sini”. Ujar Nadin seraya memperlihatkan cincin tunangannya.
“maafin aku, Nad”. Mataku mulai berkaca-kaca.
“aku sayang sama kamu Gal, tapi apa daya aku. Satu bulan lagi aku akan menikah dengan pasanganku, orang yang telah berusaha buat dapetin hati ini. Maafin aku Gal”.
“…”. Aku hanya membalasnya dengan diam dalam kondisi batin yang tersayat-sayat saat kembali mendengar dia benar-benar akan menikah.
“terima kasih untuk puisi-puisi indah itu, cinta!”. Curahnya padaku.
Dengan segala isi hati, Nadin mencium keningku penuh rasa, lalu ia pergi tanpa berkata-kata lagi. Sekali lagi bibirku kaku ingin membisu. Hanya kata hati yang bertutur riuh dengan segala penyesalan pada saat menyaksikannya melangkah pergi. Saat itu pula aku seperti selembar daun yang terombang-ambing di tengah kuatnya samudera. Bagaikan debu haram yang tercecer kasar pada sudut nurani. Menyedihkan.
“SELAMAT JALAN CINTA!”. Ujarku membatin padanya.
Kini Nadin telah memudar dari pandangan. Derap langkahnya mulai semu terbawa keheningan. Akustik yang kubawa menjadi saksi bisu pada momen yang begitu pilu ini. Hanya kalimat terakhirnya tadi yang membuatku terpaksa mengenangnya dalam perih. Dia menyebutku cinta walau pada nyatanya bukan aku yang bersanding dengannya kelak. Sekali lagi, dia benar-benar akan menikah.
Ini Cinta. Tak selamanya berkata ‘mampu’. Hanya keberanian dan sedikit keberuntungan yang akan membawanya pada jalan indah penuh pelangi yang disebut romansa. Akustik telah menjadikanku sebagai manusia yang bisa bersyukur dengan segala bentuk cinta terhadap makhluk ciptaan-Nya lewat lagu dan puisi yang tercipta. Enam dawai akustik telah berpesan bahwa maksud hati kadang kala menjadi salah karena jauh dari sempurna.
Selamat menikah Nadin, gapailah indah cahaya pada manisnya sebuah bina keluarga. Terima kasih Tuhan. Dari hati, atas nama AKUSTIK dan meriahnya CINTA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar