Aku mulai diam. Bahkan dalam diam pun, aku tidak bisa berpikir jernih saat ini. Mengapa? Mengapa masalahku sangat berat, Tuhan?
Aku tak meminta apapun yang berlebih, aku hanya ingin keluargaku baik-baik saja. Tak ada keributan. Apakah itu sangat berat? Apa ini permintaan yang mustahil? Aku tidak kuat jika terus dalam keadaan ini! Tuhan, bantulah aku. Kirimkan malaikatku yang menemaniku bagaimanapun gundahnya aku, dan kapanpun aku berbahagia dengannya.
Aku tak meminta apapun yang berlebih, aku hanya ingin keluargaku baik-baik saja. Tak ada keributan. Apakah itu sangat berat? Apa ini permintaan yang mustahil? Aku tidak kuat jika terus dalam keadaan ini! Tuhan, bantulah aku. Kirimkan malaikatku yang menemaniku bagaimanapun gundahnya aku, dan kapanpun aku berbahagia dengannya.
Kutulis bait permintaanku di dinding kamar. Menyatakan kesedihan dan kesenangan, hanya itu. Menceritakan bagaimana aku, merangkai bait kata dan menuliskannya pada punggung dinding ini.
Pagi ini aku mencoba melelehkan kebekuan dalam hati mereka dengan menawarkan pertemanan. Namun apa yang kuterima? Hanya wajah tak ramah dan kumpulan kata, tak jelas maksudnya, syair pujian ataukah cemooh penuh dendam. Aku serba salah. Hanya seorang tua memandangku penuh iba, seakan mengetahui ratapan hati ini sepanjang pagi. Kuputuskan untuk mencari jalanku sendiri; jalan untuk mencari duniaku tanpa berteman dengan seorangpun jua.
Pagi ini aku mencoba melelehkan kebekuan dalam hati mereka dengan menawarkan pertemanan. Namun apa yang kuterima? Hanya wajah tak ramah dan kumpulan kata, tak jelas maksudnya, syair pujian ataukah cemooh penuh dendam. Aku serba salah. Hanya seorang tua memandangku penuh iba, seakan mengetahui ratapan hati ini sepanjang pagi. Kuputuskan untuk mencari jalanku sendiri; jalan untuk mencari duniaku tanpa berteman dengan seorangpun jua.
Kukayuh roda ini, sendiri. Tatapanku nyalang; menaruh dendam atas sikap tak wajar orang-orang biadab tadi. Dalam hati, aku berucap; mengikrarkan sumpahku atas keadaan ini. Aku merasa tak ada seorang pun yang mempedulikanku. Bahkan jika aku sekarat, takkan ada yang melihatku.
Kejamnya hidup ini, tak berbelas kasih merutuk hati Bahkan ketika ku mencoba menerawang hati, Lalu untuk apa aku berdiri disini? Sedang tak ada seorang pun yang sudi. duhai Yang Berbelas Kasih.. dimana lagi ku mencari yang peduli?
Kejamnya hidup ini, tak berbelas kasih merutuk hati Bahkan ketika ku mencoba menerawang hati, Lalu untuk apa aku berdiri disini? Sedang tak ada seorang pun yang sudi. duhai Yang Berbelas Kasih.. dimana lagi ku mencari yang peduli?
Bahkan sore tadi, aku masih belum kuasa untuk mencairkan kebekuan yang mengeras di antara kami. Ia terlalu dingin sikapnya kepadaku; mungkinkah hatinya telah membeku? Mungkinkah lidahnya kelu atau bahkan enggan ‘tuk katakan sepatah kata: “aku memaafkanmu” Aku takut, aku gundah, aku gelisah. Hanya seorang yang peduli kepadaku, yang lainnya tidak. Hanya seorang yang menuntunku dalam kepahitan ini, sedang yang lain tidak.
Dengan rengkuhan seorang tua tadi, aku mencoba sekali lagi, mencairkan suasana sedingin es, yang tak kuasa aku berada di dalamnya. Aku kedinginan, aku ikut beku. Aku butuh, bahkan setitik api pun untuk menghangatkan tubuhku — hatiku ini. Tak lama seorang datang bertamu, diikuti dengan mereka, saudara tua yang menjenguk ke rumah. Mungkinkah ini mukjizat? Dengan nada yang tak ramah; namun cukup menggembirakan untukku, ia memanggilku. Perlahan, aku mulai membuka hijab-hijab yang menutup keakraban kami berdua selama ini. Aku mulai menyukainya lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri, suatu saat nanti aku pasti bisa menaklukkannya sekeras seliar apapun. Aku pasti bisa merobohkan pendiriannya yang kolot, sekeras apapun pulut yang menutupinya.
Apa? Apa kenyataannya, jikalau selama tiga minggu pada bulan rahmat ini dia tak menghiraukan aku. Apakah aku orang lain yang jahat? Apa aku akan membentak atau memukulnya ketika hanya sedang menyapanya? Nyatanya mungkin ia berpikir seperti itu. Tak tahu aku harus bagaimana. Aku hanya diam dan selalu diam, memendam semuanya ini sendiri. Terkadang aku sangat lelah, bagaimana aku harus berakhir? Dengan keaadaan yang sedemikian ini? Aku takut..
Hari ini adalah hari yang suci. Dengan derai air mata aku menumpahkan semuanya, kesalahanku, emosi yang meluap, juga permintaan maafku. Pelukanku semakin kuperkeras kepadanya, ia melakukan hal yang sama. Dalam hati aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan kuulangi kesalahanku. Aku memang salah. Aku yang salah. Kembali, aku menjalani hariku dengan bahagia. Tak ada muram durja serta wajah yang tak ramah. Yang ada hanyalah harmoni cinta yang mengaksara.
Ya, inilah aku yang baru. Memilih untuk diam, tidak menanggapi sesuatu yang memangkitkan amarahnya lagi. Aku tahu, kita bisa diperlakukan sedemikian sadis hanya dengan satu kata sepele. Jaga pembicaraan, dan aku akan mengubah peribahasa: mulutmu harimaumu menjadi mulutmu mahkota indahmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar