Pagi ini hujan lagi, mengingatkanku pada Dido. Dido, sungguh aku menyesal. Andaikan waktu bisa diputar kembali, aku akan kembali pada saat itu. Sebelum kau berpisah denganku, sebelum kau meninggalkanku…
—
“Jadi, kamu bisa tidak?”
“Aku kurang yakin. Menurutku…”
“Karmin! Sini kamu!”
“Ampuun Bu ampun sabaaarr!”
“Did, aku pulang duluan ya, nanti aku kasih tahu jawabanku, ibuku kalau sudah memanggil tak dapat ditunda,” teriak Karmin.
“Iya, baiklah,” balasku singkat.
“Aku kurang yakin. Menurutku…”
“Karmin! Sini kamu!”
“Ampuun Bu ampun sabaaarr!”
“Did, aku pulang duluan ya, nanti aku kasih tahu jawabanku, ibuku kalau sudah memanggil tak dapat ditunda,” teriak Karmin.
“Iya, baiklah,” balasku singkat.
Aku dan Karmin sudah menjadi sahabat sejak lama. Kami pertama kali bertemu saat masuk SD di Desa Batur, tempat tinggal kami. Kalau dihitung-hitung sekarang kira-kira sudah lebih dari 10 tahun aku mengenalnya! Aku harap permintaanku pada Karmin dapat ia terima. Penasaran diriku, seperti apa jawabnya nanti.
—
Aku benar-benar khawatir soal permintaan Dido ini. Ke Jakarta? Kota yang padat dan serba mewah itu? Dido benar-benar nekat, aku tidak bisa mewujudkan permintaannya. Aku tidak mau nasibnya sama seperti Jana tetanggaku, ke Jakarta dan tidak pernah kembali. Aku tidak setuju dengan pendapatnya bahwa di Jakarta lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Tapi bagaimana aku menolaknya… dia sahabatku.
Keesokkan harinya, lagi-lagi seperti kemarin Dido menanyakan hal yang sama.
“Karmin! Ayo kita ke Jakarta! Gimana keputusanmu?”
Dengan berat hati aku menjawabnya, “Maaf, Did, aku gak bisa. Aku…”
“TIDAAKK! Kau memang tidak setia kawan! Aku mengajakmu ikut bersamaku ke Jakarta tapi kau tidak mau ikut! Oke, baiklah kalau begitu tinggalkan aku,” potong Dido.
Dido pun pergi dengan wajah merah memadam. Ia kelihatannya tidak suka kalau aku menolak permintaannya.
“Karmin! Ayo kita ke Jakarta! Gimana keputusanmu?”
Dengan berat hati aku menjawabnya, “Maaf, Did, aku gak bisa. Aku…”
“TIDAAKK! Kau memang tidak setia kawan! Aku mengajakmu ikut bersamaku ke Jakarta tapi kau tidak mau ikut! Oke, baiklah kalau begitu tinggalkan aku,” potong Dido.
Dido pun pergi dengan wajah merah memadam. Ia kelihatannya tidak suka kalau aku menolak permintaannya.
Beberapa hari kemudian aku mendengar berita bahwa sahabatku berangkat ke Jakarta bersama seorang yang kebetulan mengajaknya ke kota metropolitan itu. Aku sangat kehilangan dirinya, tapi di sisi lain aku selalu berharap bahwa ia akan kembali lagi ke desa kami.
Setiap hari aku berdoa mengharapkan keselamatan bagi Dido. Tak terasa hampir setahun sudah waktu berlalu. Tanpa sengaja aku melihat orang yang mengajak Dido ke Jakarta. Ia berada di warung kopi ibuku. Spontan, aku mencegatnya ketika ia hendak beranjak dari tempat duduknya.
“Pak, Bapak tahu di mana Dido yang kira-kira setahun yang lalu ikut bersama Bapak ke Jakarta?”
“Dido? Ya saya tahu, dia adalah TKI di Arab Saudi,” balas orang itu.
Bagaikan disambar petir di siang bolong, aku tidak dapat berkata-kata lagi. Aku memaksa orang itu mengajakku ke Jakarta tapi orang itu malah berusaha menenangkan diriku. Ia berkata, “Tenang, Dik. Sekarang sahabatmu hidup dengan tenang di surga. Saya ke sini dengan maksud untuk menemuimu dan memberikan surat ini untukmu. Ini dari sahabatmu, Dido sebelum ia berangkat ke Arab Saudi.”
Masih dalam kengerian, aku membuka surat itu dengan perlahan dan membacanya dalam hati.
“Pak, Bapak tahu di mana Dido yang kira-kira setahun yang lalu ikut bersama Bapak ke Jakarta?”
“Dido? Ya saya tahu, dia adalah TKI di Arab Saudi,” balas orang itu.
Bagaikan disambar petir di siang bolong, aku tidak dapat berkata-kata lagi. Aku memaksa orang itu mengajakku ke Jakarta tapi orang itu malah berusaha menenangkan diriku. Ia berkata, “Tenang, Dik. Sekarang sahabatmu hidup dengan tenang di surga. Saya ke sini dengan maksud untuk menemuimu dan memberikan surat ini untukmu. Ini dari sahabatmu, Dido sebelum ia berangkat ke Arab Saudi.”
Masih dalam kengerian, aku membuka surat itu dengan perlahan dan membacanya dalam hati.
Hai Karmin! Ini aku Dido. Sebentar lagi aku akan ke Arab Saudi. Kudengar di sana gajinya cukup besar dan pekerjaannya juga cocok untukku. Doakan aku ya semoga aku bisa pulang kembali ke Desa Batur. Aku janji deh bakal membagi gaji yang kuterima nanti denganmu. Soal yang waktu aku marah padamu, lupakan saja ya. Aku mengerti kau tidak suka dengan kehidupan metropolitan seperti Jakarta. Sekian suratku. Jangan lupakan aku, tetaplah jadi sahabatku. Satu lagi pesanku, jangan cepat bosan dengan ibumu.
Dido
Air mataku menetes. Ternyata ia sudah memaafkanku. Kemudian orang yang memberiku surat itu berkata, “Beberapa hari setelah Dido sampai ke Arab Saudi ia mendapat pekerjaan sebagai tukang kebun. Tetapi majikannya terlalu keras terhadapnya. Setiap hari hidupnya penuh ancaman dan pukulan. Sampai akhirnya malam itu sang majikan tidak sengaja memukulnya terlalu keras sehingga Dido meninggal. Ia menguburkannya di tempat tersembunyi di belakang rumahnya. Baru beberapa hari kemudian majikannya diadili karena kekerasan yang ia lakukan dan Dido dapat dikuburkan dengan baik di sana.”
Hari itu hujan deras. Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Dengan terduduk di warung ibuku aku dan orang itu memandang langit. Dido, aku berjanji akan tetap menjaga kesetiakawananku padamu. Aku hanya bisa berkata selamat jalan sahabatku, semoga kau bahagia di atas sana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar