Senin, 28 April 2014

Tak Terpisahkan

“Aku jaga pos 1! Tapi, bareng sama Ishma ya! Pleaase,” begitu permintaan sahabatku, Aulia kepada Akbar, sekretaris OSIS di sekolahku. “Ah kalian ini memang tak pernah terpisahkan! Kalau nanti kalian malah sibuk bercanda gimana? Ini tuh penting. Untuk acara ulang tahun sekolah!” Bantah Nadia, sekretaris I “Halah, kamu sendiri milih sama Akbar kan tadi? Konsekuen dong!” Kataku setengah menggoda “Aku janji deh, bakalan serius!” Lanjutku.
Aulia memang sahabat terbaikku. Kita selalu bersama dimanapun dan kemanapun. Bahkan selalu sebangku. berturut-turut saat di kelas, les, mushola. Ah pokoknya kita tidak terpisahkan! Tapi walaupun begitu, kita tetap menjaga pergaulan dengan teman yang lain. Malahan jarang bergaul dengan Queen of class. Bosan. Yang dibahas hanya cowok, cowok dan cowok.
Aku tidak menyangka, sebuah insiden terjadi setelah kita belajar drama. Yaitu saat sedang takziah di rumah adik kelasku. Aku tidak tahu kenapa, sejak pagi dia terlihat tidak bersemangat. Menyapa ku pun tidak. Hanya melihat dengan senyum kecilnya. Aku memilih untuk tidak mengganggunya. Entahlah, tapi firasat ku tidak baik.
Saat takziah, aku bercanda dan berbagi permen dengan Ulya dan Deva. Dua teman baikku. Tanpa sadar, aku tertawa lumayan keras dan bisa didengar semua orang yang ada. Termasuk Aulia yang duduk di dua kursi sebelah kanan ku. Dia menatapku tajam. “Dasar childish! Kamu itu nggak bisa apa, bersikap sedikit dewasa?” Mulanya aku terkejut dia mengatakan itu padaku. “Kamu tuh kenapa sih?” tanyaku dengan nada tinggi “Dasar kekanak-kanakan! Kamu nggak sadar kita lagi dimana? Kamu nggak kasihan sama keluarganya?” omel Aulia. “Ya udah! Kalau kamu nggak suka, sana pergi! Ga usah deket-deket aku. Kalau emang merasa keganggu udah sana pergi!” ucap ku kasar. Aku sudah terbawa emosi. Aku benar-benar tidak sadar saat mengatakan itu, beruntung sahabatku yang lain, Ardhia melerai kami “Sudahlah! Kalian semua salah! Sekarang diam!” tukasnya. Aku pun diam. Dan sempat menoleh pada sahabatku Aulia. Aku mulai merasa bersalah Ya Allah. Apa yang kulakukan? Aku tidak seharusnya berkata begitu pada Aulia batinku.
Aku berusaha menengangkan diri untuk beberapa menit. Sampai Ardhia mengejutkanku dari lamunan “Boleh minta tissue?” Tanyanya. Aku menunduk sambil tersenyum. Kemudian mengambil kotak tissue dari tas ku. Ardhia hanya mengambil satu helai, dan aku kembali ke lamunan ku. Dan lagi-lagi.. “Boleh minta lagi?” tanya Ardhia. Lagi, aku mengangguk dan memberikan semua tissue ku. Aku menoleh. Oh Tuhaan.. Apa yang aku lakukan? Sahabatku menangis terisak-isak. Aku mencoba untuk tidak panik. Aku beranjak dari kursiku dan mulai mendekatinya. Tak ada yang aku lakukan. Aku hanya duduk dan menatapnya yang masih menangis. Aku takut, aku tidak tahu harus bagaimana.
Malamnya, aku mencoba menenangkan diriku, dan mengaktifkan jejaring sosial ku. Twitter dan facebook. Aku melihat kronologinya. Beberapa komentar yang aku balas tidak dibalas dia lagi! Aku terkejut, berusaha mencari informasi keadaannya sekarang. Dan hanya 1 tweet yang ada. Dan hanya berbunyi “teman baikku, menusukkan pedangnya padaku” Hanya itu. Tapi untukku itu cukup meyakinkanku tentang keadaannya sekarang. Aku melihat bio twitternya. Nama akun ku dihapus! Dan seluruh badanku melemas, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Timbul pikiran-pikiran buruk tentangnya. Ini bukan salahku! Bilang saja itu hanya sebuah pelampiasannya! Dasar munafik batinku. Emosiku meluap-luap. Pikiranku penuh dengan pikiran buruk tentangnya. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saat melihat fotoku dengannya yang bertuliskan “inseparable friends” hati kerasku mulai luluh. Pelan-pelan pikiran itu menjauh. Dan aku mulai menangis. Tangis yang penuh sesal. Ya, aku harus minta maaf! Semoga dia memaafkanku!
Paginya saat di sekolah, aku berusaha berangkat lebih pagi dari biasanya. Aku berusaha menyibukkan diriku. Menyiram taman di depan kelas, dan merapikan mejaku. Aku benar-benar takut saat melihat Aulia, yang meletakkan tasnya di kursi sebelahku. Memang 2 hari sebelumnya kita sudah berjanji akan duduk sebangku. Aku mulai memberanikan diri. Aku memulai pembicaraanku “Aulia” kusapanya lirih. Dia masih sibuk dengan tasnya. Aku tidak perduli, dan tetap mencoba melanjutkan perkataaanku. “Aku benar-benar minta maaf! Aku yang salah.. Memang tidak seharusnya aku tertawa. Aku yang salah! Aku minta maaf!” Kataku penuh penyesalan. Aulia menoleh. Mentapku dalam, dengan 2 mata bulatnya, berkaca-kaca kemudian memelukku erat. Aku membalas pelukan itu. Dan kita mulai hanyut dalam tangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar